Khutbah Jumat: Allah Menciptakan Manusia Untuk Diuji
Khutbah Jumat: Allah Menciptakan Manusia Untuk Diuji ini merupakan rekaman khutbah Jum’at yang disampaikan oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsary di Masjid Al-Barkah, Komplek Rodja, Kp. Tengah, Cileungsi, Bogor, pada Jum’at, 17 Safar 1443 H / 24 September 2021 M.
Khutbah Pertama Tentang Allah Menciptakan Manusia Untuk Diuji
Jama’ah yang dimuliakan Allah, salah satu tujuan Allah Subhanahu wa Ta’ala menghadirkan kita di muka bumi ini, menciptakan kita dari tiada menjadi ada, dari sesuatu yang bukan apa-apa menjadi seorang manusia yang sempurna, adalah untuk diuji.
Merupakan hak Allah menguji manusia. Seorang insan tidak boleh berkata “mengapa Allah menguji saya?” karena itu hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan kewajiban manusia adalah menjalani ujian. Terserah mau ikut ujian atau tidak, itu kewajiban kita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di dalam surah Al-Insan ayat 2:
إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنسَانَ مِن نُّطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَّبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا
“Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dari setetes air mani yang bercampur (mani laki-laki dan perempuan) untuk mengujinya, karena itulah Kami jadikan dia mendengar dan melihat.” (QS. Al-Insan[76]: 2)
Allah berikan kita alat ilmu (yaitu mendengar dan melihat) supaya kita bisa menjalani kewajiban kita untuk diuji.
Jadi hak Allah untuk menguji kita semua dan kewajiban kita semua untuk menjalani ujian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, apapun ujian itu. Kita tidak bisa memilih: “Ya Allah ujilah aku dengan begini dan begini saja.” Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menentukannya.
Dua jenis ujian
Ujian-ujian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala itu ada dua macam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Sesungguhnya setiap jiwa pasti merasakan mati; dan Kami uji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan, dan kepada Kamilah kamu akan dikembalikan.” (QS. Al-Anbiya[21]: 35)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa ujian dari Allah cuma dua bentuknya, yaitu keburukan dan kebaikan. Dan dua-duanya adalah ujian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, kita diuji dengan dua hal itu.
Para mufassirin menyebutkan, yaitu kadang kita diuji dengan sakit dan kadang kita diuji dengan sehat, kadang kita diuji dengan kemiskinan dan kadang juga kita diuji dengan kekayaan. Kadang kita diuji dengan kesempitan dan kadang-kadang juga kita diuji dengan kelapangan. Dan dua-duanya adalah ujian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Mungkin banyak orang yang mengira bahwa ujian Allah itu adalah ketika dia diberi kesempitan, kesulitan, sakit, miskin, barulah meluncur dari lisan seorang insan “Aku sedang diuji Allah.” Misalnya ada orang yang jatuh sakit, saudaranya mungkin menanyakan kepadanya keadaannya. Maka diapun berkata “Fulan, aku sedang diuji Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Namun adakah ketika Allah angkat penyakit itu dan Allah beri dia sehat, ketika dia ditanya oleh saudaranya tentang keadaannya, adakah dia mengatakan: “Fulan, aku sedang diuji Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan kesehatan.”
Orang tidak mengira itu adalah sebuah ujian. Padahal sakit maupun sehat kita dua-duanya adalah ujian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan banyak manusia yang gagal justru ketika diuji dengan kebaikan. Maka tingkatannya Allah sebutkan:
بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ
Pertama Allah sebutkan “keburukan” baru kemudian “kebaikan”. Hal ini kenapa persentase kegagalan diuji dengan kebaikan itu lebih banyak dan lebih besar. Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata tentang ujian sehat:
نِعْمَتانِ مَغْبُونٌ فِيهِما كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ والفَراغُ
“Dua bentuk (ujian) nikmat yang banyak manusia terpedaya dengannya; kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari)
Maka kita kadang-kadang suka kufur, itulah dia sifat manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengungkap hakikat manusia, supaya kita tahu siapa manusia itu.
إِنَّ الْإِنسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ
“Sungguh manusia itu sangat kufur kepada Rabbnya.” (QS. Al-Adiyat[100]: 6)
Kita wajib mengatakan: “Itulah saya”. Kadang-kadang kita menjadi orang yang sudah mensyukuri nikmat Allah. Padahal semua infak, sedekah, zakat, harta yang kita keluarkan itu belum ada apa-apanya dibandingkan kekufuran kita terhadap banyaknya nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka ujian dengan kebaikan itu adalah lebih berat daripada ujian dengan keburukan.
Kufur nikmat
Ketika manusia diuji dengan sakit, dia kembali kepada Rabbnya, dia berdoa, merintih, bertadarru’ minta kesehatan dan kesembuhan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun ketika diberi sehat dia lalai, lengah, dan tidak menjalankan kewajiban sebagaimana mestinya, padahal dia diberi sehat. Bahkan ada orang yang diberi sehat untuk maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَإِنَّهُ عَلَىٰ ذَٰلِكَ لَشَهِيدٌ
“Sungguh manusia itu tahu akan kekufuran dirinya sendiri.” (QS. Al-Adiyat[100]: 7)
Kadang-kadang kita sadar kalau kita kufur nikmat, tapi kita seolah-olah sudah banyak bersyukur kepada Allah. Padahal Allah mengatakan:
قَلِيلًا مَّا تَشْكُرُونَ
“Sedikit kamu bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (QS. Al-Mulk[67]: 23)
Artinya kita banyak kufurnya. Dari situ kita memahami mengapa Nabi itu setiap hari beristighfar tidak kurang dari 100 kali. Kadang-kadang kita beristighfar itu tidak tahu kesalahan apa yang kita lakukan. Karena mungkin kita tidak merasa berdosa. Tapi kalau kita lihat ayat tadi bahwa kita banyak mengkufuri nikmat Allah, maka kita bisa menghayati setiap istighfar yang kita ucapkan. Bahwa kita ini “Sungguh sangat kufur terhadap nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.” Kita banyak gagal ketika diuji dengan kebaikan.
Maka Nabi khawatir terhadap umatnya ini ketika diuji dengan dunia, dengan kekayaan, bukan ketika umat ini diuji dengan kemiskinan. Hal ini kenapa persentase gagalnya besar ketika manusia diuji dengan kekayaan dibanding ketika diuji dengan kemiskinan.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ الدُّنْيَا
“Bukan kefakiran yang aku khawatirkan atas kamu, tapi aku khawatir kamu diuji dengan dunia itu (dan kamu gagal untuk menghadapinya).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Begitulah kita hidup di dunia ini untuk diuji. Maka jangan berharap kita hidup di dunia ini tanpa menjalani ujian dari Allah, apapun itu bentuk ujiannya. Allah mengatakan:
وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah[2]: 155)
Ujian keburukan itu Allah berikan sedikit. Sedikit sakit, sehatnya Allah berikan banyak. Sedikit dari kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Kekurangan, bukan Allah cabut sama sekali. Itulah ujian keburukan. Allah tidak berikan semuanya 100% ujian keburukan itu.
Rasa sakit dan kurang itu sedikit. Adapun ujian nikmat, maka Allah berikan nikmat yang sempurna kepada manusia. Itu yang kadang-kadang kita lupa dan mengkufuri nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Khutbah Kedua Tentang Allah Menciptakan Manusia Untuk Diuji
Ujian ini sudah Allah berikan kepada umat-umat terdahulu. Ujian merupakan barometer iman seseorang. Allah tidak akan membiarkan kita mengklaim beriman sementara kita belum diuji.
أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
“Apakah manusia menduga bahwa mereka dibiarkan mengatakan ‘kami beriman’ sementara mereka belum diuji?” (QS. Al-Ankabut[29]: 2)
Ujian itu salah satu hikmahnya adalah untuk menentukan derajat iman seseorang, dilevel berapa iman kita? Dan Allah memuliakan manusia dengan ujian, sesuai dengan kadar imannya. Sungguh pelecehan anak kelas 6 SD diberi ujian anak kelas 1 SD, itu bukan penghormatan kepada anak kelas 6 SD, tapi itu adalah penghinaan yang merendahkan.
Maka Allah uji kita dengan kadar iman kita. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
أَشَدُّ النَّاسِ بَلاَءً اْلأَنِبْيَاءُ ثُمَّ اْلأَمْثَلُ فَاْلأَمْثَلُ
“Orang yang paling keras/berat ujiannya itu para Nabi, kemudian yang dibawah mereka dan seterusnya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan yang lainnya)
Kita tahu para Nabi adalah hamba-hamba yang dicintai Allah, hamba-hamba yang dekat dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, tetapi mereka juga menjalani ujian. Artinya semakin tinggi iman kita makin berat ujian.
Maka seorang mukmin ketika diuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala jangan dia dongkol, marah, menggugat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka. Hingga Allah tahu dengan ujian itu -dan Allah Maha Tahu sebelum diuji, tapi itu sebagai hujjah bagi manusia sehingga tidak bisa membantah/mengingkari- antara orang-orang yang jujur imannya dan orang-orang yang dusta imannya.” (QS. Al-Ankabut[29]: 3)
Hikmah dibalik ujian
Dan sebagai seorang mukmin kita harus berbaik sangka ketika kita diuji Allah, ada hikmah dibalik ujian. Yaitu:
Pertama, jelas itu untuk menggugurkan dosa-dosa kita. Kita banyak dosa maka Allah uji kita dengan sedikit ketakutan, rasa lapar, dikurangi sedikit nikmat, ini untuk menggugurkan dosa-dosa kita. Sebagaimana disebutkan dalam hadits, sampai duri yang menusuk seorang muslim, itu mengangkat dosa-dosanya.
Kedua, agar Allah Subhanahu wa Ta’ala mengangkat derajat kita dengan ujian itu. Kita tidak akan naik kelas kalau tidak menjalani ujian. Begitu yang kita jalani di sekolah. Kalau kita tidak mau ikut ujian, artinya kita tidak mau naik kelas. Ketika kita diuji Allah, jangan berburuk sangka, Allah ingin menaikkan derajat kita.
Maka kita bisa menjalani ujian Allah itu dengan senyum, dengan penuh husnudzan, dan kita yakin Allah akan menolong kita.
Ketiga, bisa jadi ujian itu merupakan jalan menuju surga dan keselamatan dari neraka. Sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan di dalam surat Al-Baqarah:
أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُم مَّثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِن قَبْلِكُم…
“Apakah kamu mengira akan masuk surga sementara belum lagi datang kepadamu ujian seperti yang telah datang kepada orang-orang sebelum kamu?”
Kalaulah umat-umat sebelum kita diuji, apakah kita tidak menjalani ujian? Tentu itu tidak mungkin.
مَّسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّىٰ يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَىٰ نَصْرُ اللَّهِ
“Mereka ditimpa dengan berbagai kesempitan dan kesengsaraan dan diguncangkan dengan guncangan yang sekeras-kerasnya hingga para Nabi dan Rasul serta orang-orang yang beriman bersama mereka berkata: ‘Kapan turunnya pertolongan Allah?`”
Ini adalah kondisi yang sudah klimaks, sehingga seseorang itu berkata ketika diuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala “Kapan turunnya pertolongan Allah?” Mungkin kita belum diuji dengan ujian yang berat hingga kita berkata “Kapan turunnya pertolongan Allah?”
أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ
“Ketahuilah bahwasanya pertolongan Allah itu sangat dekat.” (QS. Al-Baqarah[2]: 214)
Satu saja kata kuncinya kalau kita ingin merasakan nikmatnya pertolongan Allah, siap-siaplah diuji, kita harus siap menjalani ujian. Kita tidak akan merasakan nikmatnya pertolongan Allah kalau kita enggan diuji dan marah ketika menguji kita.
Download mp3 Khutbah Jumat: Allah Menciptakan Manusia Untuk Diuji
Podcast: Play in new window | Download
Jangan lupa untuk ikut membagikan link download “Khutbah Jumat: Allah Menciptakan Manusia Untuk Diuji” ini kepada saudara Muslimin kita baik itu melalui Facebook, Twitter, atau yang lainnya. Semoga menjadi pembukan pintu kebaikan bagi kita semua.
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/50758-khutbah-jumat-allah-menciptakan-manusia-untuk-diuji/